FORT ROTTERDAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah “Laporan Penelitian Di Benteng Rotterdam Makassar” ini
sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Kami sangat berharap makalah
ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
sejarah fungsi Rotterdam makassar. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
sarana yang membangun . Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Makassar,
01 April 2014
PENULIS
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................
i
DAFTAR ISI.....................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang……………………………………………..
1
B. Tujuan Penetian
…………………………………………….
2
C. Manfaat
Penelitian…………………………………………..
2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Dekskripsi Umum tentang
Museum La Galigo……………..
3
B. Dekskripsi Umum tentang objek
yang ditemukan…………...
5
C. Hubungan La Galigo tentang objek
yang ditemukan ( senjata, rumah adat,.... 5
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan………………………………………………… 18B. Saran……………………………………………………… 18
C.DaftarPustaka……………………………………………. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fort
Rotterdam atau Benteng Rotterdam Makassar (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai
sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun
1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di
daerah Maros. Benteng Rotterdam Makassar ini berbentuk seperti seekor penyu
yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas
filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu
pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli
benteng ini adalah Benteng Rotterdam Makassar, biasa juga orang Gowa-Makassar
menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas
pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani
perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk
menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng
ini, nama Benteng Rotterdam Makassar diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis
Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah
kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai
pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Di kompleks Benteng
Rotterdam Makassar kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat
banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan
daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung
benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah menjadikan museum La Galigo sebagai new museum yaitu
museum yang memberikan pemahaman akan identitas budaya kepada seluruh
masyarakat Sulawesi Selatan.
C.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu contoh
dari penerapan ilmu permuseuman, terutama mengenai peranan museum dalam
memberikan pemahaman tentang identitas sebuah provinsi.
2.
Bagi Museum La Galigo, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
dasar acuan dalam menentukan pendekatan ekshibisi yang mampu menggambarkan
identitas budaya Sulawesi Selatan. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadi salah satu bahan evaluasi terhadap strategi kebijakan yang telah
dilaksanakan di museum ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dekskripsi Umum tentang
Museum La Galigo
1.
Sejarah Museum La Galigo
Benteng Rotterdam Makassar
dibangun oleh Raja Gowa ke IX Daeng Matare Karaeng Manguntungi Tumapa’risi’
Kallonna dan diselesaikan oleh putranya Raja Gowa X Imanriogau Bontokaraeng
lakiung Tonipallangga Ulaweng dengan konstruksi tanah liat pada tahun 1545.
Atas perintah Raja Gowa XIV Imangerangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin) pada
tahun 1634 tembok benteng diperbaiki dan menambah material batu karang, batu
padas, dan batu bata menggunakan kapur dan pasir sebagai perekat. Fort
Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai
sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.Benteng ini dibangun pada tahun
1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di
daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang
hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi
Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun
dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli
benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar
menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas
pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani
perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk
menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng
ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis
Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah
kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai
pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur sampai saat ini
benteng Rotterdam digunakan untuk perdagangan dan dijadikan sebagai tempat
wisata prasejarah,selain itu Benteng Rotterdam dijadikan kantor pemerintah yakni
Pusat Kebudayaan Makassar, Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat
Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah
kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi
Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu
objek wisata di Kota Makassar. Salah satu obyek wisata yang terkenal disini
selain melihat benteng serta museum Lagaligo adalah menjenguk ruang tahanan
sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah
Jawa. Di benteng ini pernah di jajah oleh pasukan belanda, untuk memperluas
daerah kekuasaannya karena kerajaan gowa memliki rempah-rempah yang banyak,
Setahun lebih benteng digempur oleh Belanda dibantu oleh pasukan sewaan dari
Maluku, hingga akhirnya kekuasaan raja Gowa disana berakhir. Seisi benteng
porak poranda, rumah raja didalamnya hancur dibakar oleh tentara musuh.
Kekalahan ini membuat Belanda memaksa raja menandatangani "perjanjian
Bongaya" pada 18 Nov 1667 Di tempat ini juga Pangeran Diponegoro
dipenjara. Luas Benteng Rotterdam Makassar adalah 28.595,55 meter bujur
sangkar, dengan ukuran panjang setiap sisi berbeda, serta tinggi dinding
berfariasi antara 5-7 meter dengan ketebalan 2 meter. Benteng Rotterdam
Makassar mempunyai lima buah sudut (Bastion), yaitu :
- Bastion Bone terletak di sebelah
barat
- Bastion Bacam terletak di sudut barat
daya
- Bastion Butan terletak di sudut barat
laut
- Bastion Mandarsyah terletak di sudut
timur laut
- Bastion Amboina terletak di sudut
tenggara
B. Dekskripsi Umum tentang objek yang
ditemukan
Museum
ini memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 4999 buah yang terdiri dari koleksi
prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah, naskah, dan etnografi. Koleksi
etnografi terdiri dari berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan
hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Bugis, Makassar,
Mandar dan Toraja. Museum juga memiliki benda-benda yang berasal dari
kerajaan-kerajaan lokal dan senjata yang pernah digunakan pada saat revolusi
kemerdekaan.
1.
Sepeda dan Bendi
Tidak
hanya peralatan tradisional nelayan yang terpanjang di ruangan ini anda pun
dapat melihat bendai, Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional
yang terdapat dalam useum lagaligo ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa
sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah
dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan makanan pokok.
2.
Alat-alat Tradisional Perikanan dan Kelautan
Pada
bangunan lain Museum Lagaligo anda akan menjumpai koleksi Perangkat Tradisional
para pelaut dan nelayan bugis Makassar terdapat replika Perahu Pinisi yang
terkenal sampai ke manca negara berbagai jenis peralatan nelayan untuk mengkap
ikan yang umumnya masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyrakat pesisisr
hingga saat ini.
3.
Peralatan Berlayar
4.
Koleksi Peralatan Tenun TradisonaL
Dari
koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun
di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan
berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang -
leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari
kulit kayu dan serat - serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada
zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat
pemintal tenun dangan bahan baku
5.
Koleksi Peralatan Menempa Besi dan Hasilnya
Jika
anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masa lampau
masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi
tradisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam,
baik untuk penggunan sehari - hari maupun untuk perlengkapan upacara adat.
6.
Koleksi Mata Uang
Didalam
Museum Lagaligo terdapat koleksi mata uang yang pernah beredar dan berlaku di
indonesia yakni pada masa klasik Hindu Budha pada abad ke -5-15 masa Islam pada
abad 13. masa Kolonial abad ke 16. masa Kemerdekaan Republik Indonesia tahun
1945.
7.
Koleksi Keramik
Diruangan
Koleksi Keramik terdapat berbagai jenis keramik kuno dari berbagai dinasti
seperti Dinasti Sung abad 13-14 Dinasti Swaton abad 16-18, Dinasti cing abad
17-19, Dinasti Yuan terjan abad 14-16, Dinasti Annamese abad 14-16 Keramik -
keramik ini berasal dari China, Vietnam, Thailand ,Siam dan Jepang.
C. Hubungan La Galigo tentang objek
yang ditemukan ( senjata, rumah adat, dll )
1. Museum La Galigo (Gedung No. 10)
Fort Rotterdam
Museum
yang pertama berdiri di Sulawesi Selatan adalah Celebes Museumpada tahun 1938,
didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota Makassar sebagai ibukota
Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan Daerah
Taklukannya). Kepala Museum adalah Tuan Ness. Celebes Museum bertempat di
Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam), menempati bekas gedung kediaman
Laksamana Cornelis Speelman, yaituGedung No.2. Koleksi diperoleh dari sumbangan
masyarakat dan hasil penggalian, diantaranya berbagai jenis keramik, mata uang,
beberapa buah destar tradisional Sulawesi Selatan, dan piring emas. Menjelang
kedatangan Jepang di kota Makassar, Celebes Museum telah menempati tiga gedung,
yaitu Gedung No.2, Gedung No.5, dan Gedung No.8. Koleksi di Gedung No.5 berupa
alat-alat pertukangan kayu, jenis perahu, dan alat-alat pertanian, serta
koleksi etnografi dari emas.Koleksi di Gedung No.8 berupa alat permainan
rakyat; alat dapur seperti periuk, belanga, dll; alat musik, berbagai jenis
tombak. Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan museum terhenti, dan mulai
dirintis kembali oleh para budayawan setelah pembubaran Negara Indonesia Timur
(NIT).Museum berdiri kembali pada tahun 1966meski tidak dalam status resmi.
Koleksi diperoleh dari sumbangan para budayawan, berupa gelang perak, mata uang
kuno, pakaian adat pengantin, keris dan badik. Ditambah koleksi dari Yayasan
Matthes, Yayasan Pusat Kebudayaan Indonesia Timur, dan milik Inspeksi Kebudayaan
Daerah Sulawesi Selatan. Empat tahun kemudian, dengan surat keputusan Gubernur
(1970), museum secara resmi berdiri dengan namaMuseum La Galigo. Selanjutnya
melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1979), nama museum
berubah menjadi Museum La Galigo Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 1988,
Direktur Jenderal Kebudayaan melalui Direktur Permuseuman Jakarta mengeluarkan
keputusan tentang penyeragaman nama museum negeri tingkat provinsi seluruh
Indonesia, yaitu mendahulukan nama provinsinya masing-masing kemudian diikuti
nama lokalnya. Dengan demikian sekali lagi museum berganti nama menjadi Museum
Negeri Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo. Di era otonomi, melalui surat
keputusan Gubernur (2001), nama museum diganti menjadi UPTD Museum La Galigo
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.
µ Penamaan Museum La Galigo
Museum
Sulawesi Selatan ini diberi nama ‘La Galigo’ atas saran seorang seniman, dengan
pertimbangan nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh
masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa
dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung
Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14. ‘La Galigo’ juga nama
sebuah karya sastra klasik dalam bentuk naskah tertulis bahasa Bugis yang
terkenal dengan nama Surek La Galigo, dengan panjang 9.000 halaman, dan La
Galigo sendiri dianggap sebagai pengarangnya (note: studi mengungkapkan
kemungkinan penulisnya adalah perempuan bangsawan), pada masa yang sezaman
dengan Kerajaan Sriwijaya. Isinya mengandung cerita-cerita, tatanan, dan
tuntunan hidup orang Sulawesi Selatan dulu, seperti sistem religi, ajaran
kosmos, adat-istiadat, bentuk, dan tatanan masyarakat/pemerintahan tradisional,
pertumbuhan kerajaan, sistem ekonomi/perdagangan, keadaan geografis, dan
peristiwa penting yang pernah terjadi. Naskah ini biasanya dibacakan secara
berlagu kepada pendengarnya. Khusus ceritera tokoh Sawerigading, tidak hanya
dikenal di daerah Bugis saja, tetapi dapat dijumpai dalam bentuk ceritera lisan
di Makassar, Toraja (note: Toraja adalah dataran tinggi, sehingga cukup
mengejutkan berkembangnya epos berlatarbelakang bahari di sini), Mandar,
Massenrempulu, Selayar, Sulawesi Tenggara, dan Tengah.
Beberapa
tokoh yang pernah mengulas Surek La Galigo antara lain Stamford Raffles,
B.F.Matthes, R.A.Kern, dan A.Zainal Abidin Farid. Hasil pengkajian ilmuwan ini,
diperoleh kesimpulan berikut (Buku Petunjuk UPTD Museum La Galigo, 2008):
1. Sebagai sastra suci, menceritakan tentang
cikal-bakal orang Bugis yang sakti dan dimuliakan. Oleh sebab itu naskah La
Galigo mereka layani dan hormati seperti menghormat tokoh ceritera didalamnya.
Dengan sikap dan pandangan demikian ini, La Galigo melaksanakan fungsi sebagai
penawar keresahan menghadapi ancaman penyakit, bencana alam, dan kematian, juga
sebagai pelindung ancaman kebahagiaan hidup.
2. Sebagai Sastra Berguna atau Sastra
Normatif, berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan;
berbagai tatacara kehidupan sehari-hari, mulai dari peristiwa kelahiran, pijak
tanah, perkawinan, hingga urusan kematian dan adat beraja-raja. Dengan demikian
ia melaksanakan fungsi sebagai pendorong terciptanya integritas sosial dengan
keluarga raja sebagai intinya, dan pendorong terciptanya stabilitas sosial,
serta kelestarian pranata sosial budaya.
3. Sebagai sastra indah, berisi ceritera
petualangan, percintaan, dan peperangan yang memikat dan menegangkan dalam
irama dan gaya bahasa yang menawan. Dengan kedudukan demikian naskah ini
berfungsi sebagai alat penghibur, penggugah emosi, dan imaji pengikat, pembina
kompetensi dan apresiasi sastra di kalangan masyarakat.
Dengan
kedudukan dan fungsi tersebut di atas ‘Surek La Galigo’ dapat bertahan
melampaui masa yang panjang dan menjadi warisan serta kebanggaan dari generasi
ke generasi.
µ Susunan Penataan Pameran
Gedung
No.10, terletak di sebelah selatan, terdiri dari tiga lantai dengan susunan penataan
pameran sebagai berikut (Ruang 3-5 di Lantai II):
• Ruang 1 (Kebaharian): peta
topografi, suku bangsa Sulawesi Selatan; miniatur perahu pinisi, patorani,
palari, bahan pembuatan perahu, dll
• Ruang 2: bagang, roppong, alat
penangkap ikan; perahu lambo, palari, bendi, dll
• Ruang 3 (Teknologi Tradisional):
alat pertanian tradisional; lesung dari Raja Tolo Jeneponto; alat pengolahan
sagu, gula merah, alat rumah tangga, musik tradisional anjong bola, dll
• Ruang 4 (Tenun Tradisional): alat
penempaan besi dan hasil-hasilnya; alat proses pembuatan benang, lungsi;
perangkat tenun tradisional; berbagai hasil tenunan dan pakaian adat Sulawesi.
• Ruang 5 (Pakaian Pengantin dan
Pelaminan): pakaian pengantian adat suku bangsa di Sulawesi Selatan; pelaminan
• Ruang 6 (Wawasan Nusantara):
pakaian adat Sulawesi Utara, Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dll;
panah dan patung dari Papua; pakaian adat Jawa dan Bali, dll; lukisan Syekh
Yusuf, tasbih, dll
µ Koleksi Pakaian Nusantara
Pada
salah satu ruangan dalam, Museum LA galigo, terdapat koleksi pakaian pengantin
adat dari beberapa suku dan daerah indonesia. Koleksi religius dipenghujung
jelajah kita dimuseum La Galigo, kita akan berada dalam suatu ruangan yang yang
menyimpan berbagai koleksi yang kental dengan islam, mulai dari potret para
tokoh islam, Al-quran, tasbih dari masa permulaan masuknya ajaran islam di
Sulawesi Selatan.
Rumah
Speelman (Gedung No.2)
Tata
Pameran Museum La Galigo
Pameran
tetap di Museum La Galigo disajikan di Gedung No.10 yang terletak di sebelah
selatan dan Gedung No.2 sebelah utara dalam Kompleks Benteng Ujung Pandang.Dari
pintu gerbang Benteng, Gedung No.2 terletak di sebelah kiri.
Gedung
No.2, pada masa Hindia Belanda, adalah kediaman Laksamana Cornelis Speelman.
Setelah Makassar, Speelman masih memimpin beberapa ekspedisi militer, sebelum
kembali ke Batavia pada tahun 1677. Pernah menjabat sebagai Presiden Dewan
Kotapraja (1678) yang bersidang tiga kali seminggu di Balai Kota Batavia
(sekarang Museum Sejarah Jakarta), sebelum akhirnya menduduki jabatan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda (1681-1684).
Kediaman
Speelman di Gedung No.2 sekarang difungsikan sebagai ruang pameran Museum La
Galigo, dengan item koleksi sebagai berikut (Ruang 7-10 di lantai dua, Ruang
11-12 di lantai bawah tanah):
•
Ruang 1 : Maket Benteng Ujung
Pandang, benda-benda/bahan bangunan benteng, peta lokasi benteng Kerajaan Gowa,
foto-foto Gedung yang dpugar
•
Ruang 2 :Lukisan prasejarah, alat
batu prasejarah, koleksi arkeologi
•
Ruang 3 : koleksi dari masa
prasejarah, lukisan, sistem penguburan megalitik
•
Ruang 4 : gudang
•
Ruang 5 : koleksi numismatika dan
arkeologi
•
Ruang 6 : koleksi etnografi
•
Ruang 7 : koleksi Kerajaan Sawitto;
Kerajaan Wajo, Mandar, dan Tana Toraja; foto-foto pahlawan nasional dan Sulawei
Selatan
•
Ruang 8 : koleksi Kerajaan Luwu
•
Ruang 9 : koleksi Kerajaan Bone
•
Ruang 10 : koleksi Kerajaan Gowa
•
Ruang 11 dan Ruang 12 : keramik asing dan peta lokasi
penemuan keramik asing di Sulawesi Selatan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fort
Rotterdam atau Benteng Rotterdam Makassar (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai
sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun
1545 oleh Raja Gowa ke IX yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti dengan sedimen endesit. Museum yang pertama berdiri di Sulawesi Selatan
adalah Celebes Museum pada tahun1938, didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda
di kota Makassar sebagai ibukotaGouvernement Celebes en Onderhoorigheden
(Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya). Kepala Museum adalah Tuan Ness.
B.
Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
C. DAFTAR PUSTAKA
1.
http://www.pustakasekolah.com/museum-la-galigo-benteng-rotterdam.html#ixzz2x1MauCmD
2. http://destindonesia.com/2013/12/03/koleksi-budaya-dan-sejarah-sulawesi-selatan-di-museum-la-galigo/
3. http://www.museumindonesia.com/museum/5/1/Museum_La_Galigo_Makassar
2. http://destindonesia.com/2013/12/03/koleksi-budaya-dan-sejarah-sulawesi-selatan-di-museum-la-galigo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar